Rabu, 25 Mei 2011

PANGERAN IMPIAN I

PANGERAN IMPIAN I

Kekuranganmu merupakan kelebihan untukku

Keterbatasanmu merupakan kebanggaan untukku

Bagiku kamu adalah sosok paling istimewa

Yang dikirimkan Tuhan untuk menemaniku

Ini April ke empat yang dijanjikan bunda untuk menjemputku, aku merasa semua ini tidak adil untukku, mengapa bunda seolah membuang aku, mengapa bunda seolah mengasingkan aku ke tempat ini, ingin rasanya aku berontak, tapi apa daya aku hanya seorang perempuan lemah, aku masih terlalu kecil untuk melawan semua keinginan orang tuaku.

Bersama tante aku tidak diberi kebebasan sama sekali, waktu untukku main sangat sedikit, aku di paksa belajar, membantu semua pekerjaan rumah, aku harus mencuci bajuku sendiri, menyetrika bajuku sendiri. Semua pekerjaan ini belum pernah aku lakukan di rumah bunda. Bersama bunda aku selalu diberi kebebasan, semua pekerjaan rumah di lakukan oleh bi sumiati, tapi sejak bunda melahirkan anak yang ke empat, dan bunda di sibukkan dengan urusan bisnisnya, aku sebagai anak pertama terpaksa harus bunda titipkan kepada tante sita.

Tak terasa sudah empat tahun di sini, segitu sibuknyakah bunda, sehingga bunda tidak kujung menjemputku, aku begitu merindukan bunda, adik-adik, ayah dan semua yang ada di rumah. Di sisi lain aku mearasa begitu terpaksa berada di sini, tapi entah mengapa aku begitu menikmatinya, aku merasa tante sita adalah sosok bunda yang selama ini aku inginkan, walau tante sita suka memaksakan kehendak, suka mengatur-ngatur, tapi dia begitu perhatian dan yang paling penting dia mencurahkan kasih sayangnya hanya untukku. Beda waktu aku bersama bunda, walau aku diberi kebebasan, tapi aku kurang perhatian bunda, karena bunda sangat sibuk, dan kasih sayang bunda harus dibagi kepada adik-adik.

Selain terpisah dengan keluarga, aku juga terpisah dengan sahabat-sahabat di sekolahku, aku harus pindah sekolah dan sekolah disini, berkat peraturan yang ditetapkan tante, di sini aku menjadi siswa yang berprestasi, aku selalu masuk tiga besar, bahkan pelajaran yang dulunya sangat aku benci, dengan latihan dan dukungan tante sita aku jadi menyukainya.

***

Perlahan aku mulai menyayangi tante sita, tante sita juga menyukai perubahan-perubahan dalam sikapku, kini dia tidak perlu ingatkan aku ini itu, menyuruhku ini itu, karena dengan sendirinya aku sudah melakukannya. Tak terasa sebentar lagi aku akan keluar dari SD, aku serahkan sepenuhnya kepada tente sita aku harus melanjutkan sekolah kemana.

Tak pernah ku duga ternyata tante sita memasukkan aku ke sebuah madrasah tsanawiyah yang berbasis pesantren, selain bersekolah aku juga harus mondok disana. Aku begitu keberatan dengan keputusan tante sita, apa bedanya tante sita dengan bunda, tante sita juga membuang dan mengasingkan aku, tante sita tetaplah tante sita walaupun aku sudah merengek-rengek supaya dia membatalkan rencananya, tapi dia tetap saja bersikukuh pada keputusannya.

Awal mula aku masuk pesantren, aku merasa sangat-sangat tidak kerasan, peraturan yang dibuat oleh pesantren itu lebih banyak dari pada peraturan yang dibuat oleh tante sita, tak ada lagi waktu untuk bermain, waktuku digunakan untuk sekolah, belajar dan mengaji, di pesantren juga aku dididik untuk lebih mandiri lagi.

Tante sita mengunjungiku setiap seminggu sekali, untuk sekedar melihat keadaanku atau memberikan bekal, aku tidak pernah diperbolehkan pulang kerumahnya, kecuali atas alasan sakit atau keperluan yang sangat mendesak, begitu teganya tante sita kepadaku, tapi tante sita suka berkata ”semua ini demi kebaikanmu sayang”.

Di pesantren aku bisa menemukan banyak hal baru, sahabat-sahabat baru, terutama aku bisa merasakan indahnya kebersamaan, kita seperti sebuah keluarga yang saling menyayangi karena Allah. aku mulai merasa aku begitu beruntung berada di temapat ini.

***

Tiga tahun berlalu, teman-teman sudah mulai membicarakan kemana kita akan melanjutkan pendidikan, apakah akan tetap di sini, atau melanjutkan ke sekolah yang lain. Tante sita menyerahkan semua keputusan kepadaku, apa benar aku sudah dianggap dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Mengapa di saat aku masih kecil aku tidak suka dipaksa-paksa dan ingin menentukan pilihanku sendiri, tapi sekarang di saat aku di beri kebebasan untuk memilih, aku malah bingung, dan beranggapan lebih baik dipilihkan dari pada memilih sendiri, karena apapun yang dipilihkan tante sita, itu pasti yang terbaik untukku.

”rara, kenapa kamu diam saja nak?”

”rara bingung tante, rara kerasan disini, tapi rara juga ingin mencari pengalaman baru, rara juga rindu sekali sama bunda, ayah dan adik-adik”

”ya sudah sekarang kamu telefon saja dulu bunda, minta pendapat beliau seperti apa ya !”

”tapi tante......................”

”tapi apa?”

”apakah bunda masih ingat sama aku”

”Innalillahi rara kenapa kamu ngomong seperti itu? tentu saja mereka masih ingat kamu dan begitu merindukan kamu, ayo sekarang coba kamu telefon bunda”

Tut...tut...tut... telefon mulai tersambung, tapi tidak kunjung diangkat juga oleh bunda.

”tante, bolehkah rara mengajukan permohonan?”

”tentu saja, apa itu sayang?”

”bolehkah rara menyerahkan semua keputusannya sama tante, kemana rara akan melanjutkan sekolahku?”

”apa kamu benar-benar serius dengan ucapan kamu ini nak?”

”iya, tante”

”kalau menurut tante, untuk memantapkan ilmu yang kamu punya, lebih baik kamu tetap disini melanjutkan sekolah dan pesantrenmu disini”

”baiklah tante, aku akan tetap disini, terimakasih ya tante”

”sama-sama anakku”

”satu lagi, bolehkah rara memanggil tante dengan panggilan ’mamah’?”

mata tate sita tampak berkaca-kaca mendengarnya.

”tentu saja boleh sayang”

aku kemudian memeluknya, dalam pelukannya, aku benar-benar merasa damai

”terimakasih mamah”

Setelah mamah pergi, aku segera bergegas ke asrama putri untuk melanjutkan aktifitasku, aku menghentikan langkahku, saat ku dengar salah satu santri putri mengolok-olokku

”kasihan banget ya rara pintar, cantik , tapi sayang punya mamah yang cacat”

”apa kamu bilang mamah ku cacat?, mamahku tidak cacat, dia hanya punya kekurangan sama seperti kita, bukankah tidak ada manusia yang sempurna?”

”jelas-jelas dia tuh cacat, dia hanya berjalan dengan satu kaki, ko bisa ya bapak kamu mau menikahi perempuan cacat kaya mamah kamu itu”

aku berkata dengan nada setengah berteriak

”diam.................kamu, kalau kamu benci sama aku, kamu gak usah menghina mamah aku seperti itu”

aku tak kuasa mendengar hinaan yang ditujukan untuk mamah sita itu, hatiku merasa begitu sangat sakit, aku tak kuasa membendung air mataku.

Mendengar ada keributan, dan juga tangisan, para santri yang lain lalu bermunculan, aku dan santri putri yang bernama wita itu lalu dibawa ke pengurus. di dewan keamanan santri aku dan wita di introgasi, aku lalu menceritakan kronologis kejadian yang sesungguhnya, dewan keamanan santri lalu menyuruh wita untuk meminta maaf, akupun memaafkan wita dan memintanya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

***

Entah dari siapa mamah sita mengetahui kejadian yang menimpaku di pesantren beberapa hari ke belakang, saat dia menjengukku, mamah lantas menanyakan aku tentang kebenaran kejadian itu, dan begitu menyayangkan atas apa yang telah terjadi, dia lalu meminta maaf kepadaku.

”kenapa mamah meminta maaf?”

”gara-gara mamah kamu jadi berantem sama temanmu nak?”

”tidak mamah, ini semua bukan salah mamah”

mamah sita lantas menangis , kemudian memelukku.

”kamu adalah harta mamah yang paling berharga dalam hidup mamah, untuk pertama kalinya, mamah merasa jadi orang yang istimewa, mamah sayang banget sama kamu nak”

” rara juga sayang banget sama mamah. mah, bolehkah rara tanya sesuatu?”

”tentu saja boleh, tentang apa?”

”mah, maaf apakah mamah tidak punya keinginan untuk menikah?”

”tentu saja sayang mamah ingin seperti yang lain, punya keluarga, punya suami dan anak, tapi seperti yang kamu lihat sendiri mamah punya keterbatasan, mamah takut keterbatasan yang mamah miliki ini malah akan membebani orang lain”

”tapikan menikah itu sunnah Rasul mamah?”

”iya sayang, mamah tahu itu, tapi bila mamah menikah itu malah akan membuat suami dan anak mamah menderita”

”Astaghfirullah, kenapa mamah berfikiran seperti itu?, mamah tidak akan menjadi beban untuk orang lain, karena mamah sudah membuktikan sendiri dengan kemandirian mamah, bahkan mamah bisa mengurus aku sampai aku menjadi seperti ini. Mamah juga tidak akan membuat suami dan anak mamah menderita, malahan mungkin mamah akan membuat mereka menjadi orang yang paling beruntung seperti yang aku rasakan”

”Benarkah kamu merasa beruntung kalau misal kamu memiliki ibu seperti mamah?”

”tentu saja mamah”

”lalu apa alasan kamu?”

”karena mamah di sayang oleh Allah, mamah adalah manusia terpilih yang diberi ujian seperti ini, karena Allah tahu mamah mampu melewati semua ini dengan kesabaran dan keikhlasan”

”tapi tidak semua orang berfikiran seperti itu nak”

”rara yakin Allah menciptakan setiap hambanya berpasang-pasangan”

”ya, bunda tahu itu, tapi ada hal yang tidak kamu mengerti dan tidak kamu ketahui nak”

”apa itu mamah? apakah maaf tidak pernah ada laki-laki yang datang untuk melamar mamah?”

”sebenarnya ada”

”lalu, kenapa mamah tidak menerimanya? apa mamah terlalu pilih-pilih?”

”Astaghfirullah......... bukanitu nak”

”lalu apa mamah?”

”mamah terlanjur merasa hina”

”merasa hina kenapa mamah?”

”sudahlah mamah tidak mau mengingatnya lagi, mamah pulang dulu, kamu selalu jaga diri kamu baik-baik ya nak! mamah sayang kamu, assalaamu’alaikum”

belum sempat aku bertanya tentang penjelasan apa yang membuat mamah merasa hina itu, mamah malah pergi, aku bertekad akan mencari tahu makna dari ucapan mamah tersebut, bila mamah tidak mau menjawabnya, lantas harus kepada siapa aku bertanya?

.............................bersambung..................

Created by : Ade ita fatimah

Tidak ada komentar: