PANGERAN IMPIAN II
Bimbang di antara dua pilihan
Kalian adalah matahari dan rembulan
Memberi cahaya memberi keindahan
Mengajarkan arti kehidupan
Tiga tahun berlalu, tak kunjung ku temukan jawaban itu, mamah tetap tidak mau menjawab, bila aku bertanya kepada teman mamah, yang aku tahu mamah tidak punya teman dekat, mungkin aku harus bertanya kepada bunda, karena bundalah saudara kandung mamah satu-satunya.
Kata mamah, bunda akan hadir pada acara perpisahan nanti, ya Allah betapa kangennya aku pada bunda setelah hampir sepuluh tahun aku tidak bertemu dengannya, apakah bunda akan pangling melihat keadaannku sekarang, bagaimana kabar ayah dan adik-adik di sana, mungkin adik lala sudah kelas 1 SMA sekarang, adik caca mungkin sudah kelas 2 SMP sekarang dan si bungsu wawa pasti baru kelas 3 SD, semoga mereka semua baik-baik saja aamiin.
Acara perpisahan itupun tiba, di samping aku sangat sedih karena berpisah dengan teman-teman yang selama enam tahun kita bersama-sama, segala hal kita lakukan bersama-sama, kita sudah seperti sebuah keluarga, tapi aku juga merasakan bahagia karena aku bisa bertemu lagi dengan bunda.
Rasa damai menyelimuti hatiku, saat ku lihat senyum tulus bunda, dan ucapan bunda yang mengatakan ”rara anakku”, aku langsung berlari dan memeluk bunda dan serasa tidak ingin melepasnya lagi, tidak terasa air mataku terus meleleh membasahi kerudung bunda.
”kamu sudah besar nak, bunda kangen sekali sama kamu”
”rara juga bunda, rara juga kangen sekali sama bunda”
rasa marah yang ada di benakku waktu itu karena bunda tidak kunjung menjemputku, kini lenyap sudah, yang ada hanya rasa syukur yang tiada tara.
”bunda, mana mamah sita, ko dia tidak datang bunda, apa dia sakit?”
”apa rara, kamu memanggil tante sita apa?”
”mamah bun, memang kenapa bunda, bunda keberatan?”
”tidak, mungkin telinga bunda belum terbiasa mendengarnya”
”bunda, bagaimana kabar ayah dan adik-adik, apa mereka semua baik-baik saja bunda?”
”alhamdulillah mereka semua baik-baik saja, kamu kangen tidak sama mereka?”
”tentu bunda, rara kangen sekali sama mereka”
”kalau begitu kamu tenang saja, karena sebentar lagi kamu akan bertemu dengan mereka”
”maksud bunda apa?”
”iya, karena kamu akan segera pulang, bunda ke sinikan untuk menjemputmu, memangnya tantemu belum cerita?”
”belum, mamah sita hanya bilang, bahwa bunda akan hadir di acara perpisahan begitu saja”
”oh, mungkin tantemu lupa, kamu sudah selesaikan acaranya, ayo sekarang kita segera pulang”
”pulang ke rumah mamah sita?”
”bukan, ya ke rumah kita”
”tapi bunda, rara ingin bertemu dulu dengan mamah sita”
”tidak bisa rara, waktu bunda sangat sedikit, ayo kita segera pulang!”
bunda terus menarik tanganku, dan mengajakku untuk masuk ke dalam mobil.
”bunda kalau bunda tidak mengizinkan aku bertemu dulu dengan mamah sita, bolehkah rara berbicara dengannya di telefon?”
”baik, ayo sekarang kita pergi, biar nanti di jalan kita menelefon tante sita”
aku begitu sayang sama mamah sita, aku tidak ingin berpisah dengannya, tapi di sisi lain aku tidak mungkin menolak keinginan bunda.
Telefon mulai tersambung dengan mamah sita, terdengar suara serak mamah sita di sana, sepertinya dia sudah menangis.
”assalaamu’alaikum mamah”
”wa’alaikum salam wr.wb sayang, bagaimana acaranya tadi lancar?”
”alhamdulillah mamah lancar, kenapa mamah tidak hadir tadi?”
”mamah, mamah tidak akan sanggup nak”
”tidak akan sanggup kenapa?”
”mamah tidak akan sanggup bila harus berpisah denganmu nak”
”rara juga mamah”
lama kami tidak saling bicara, hanya ada suara isak tangis, yang bila terdengar oleh siapa saja, akan membuat hatinya teriris.
”mamah...................”
”iya sayang........”
”rara pulang dulu, terimakasih untuk semuanya, rara sayang banget sama mamah, mamah selalu jaga diri baik-baik ya mamah!”
”iya sayang...........”
”mamah sudah jangan menangis, rara pasti akan sering ngasih kabar sama mamah, rara juga sesekali akan datang menjenguk mamah”
”iya, sayang.............”
klik..telefon di tutup, sepanjang perjalanan aku hanya bisa diam dan tak henti-hentinya air mata ini meleleh. Mobil terus melaju meninggalkan kota cirebon jawa barat.
Astaghfirullah...................aku begitu terkejut saat mobil di rem mendadak oleh pak gani supir pribadi mamah.
”Astaghfirullah, ada apa gani?”
”itu bu, ada motor yang berhenti mendadak di depan”
motor itu kemudian mendekat, sepertinya aku tidak asing dengan wajah itu, dan ketika ku lihat wanita yang dibelakangnya, dia turun dengan menggunakan tongkat, ya Rabb...........itu mamah sita, aku segera turun dari mobil dan berlari ke arah mamah sita.
”mamah mau ikut kami ke bandung mah?”
”tidak sayang, mamah ingin mencegah kamu, supaya kamu tidak pergi”
bunda keluar dari mobilnya dan menghampiri kami
”apa kamu bilang sita, kamu mau mencegah rara pergi, memangnya kamu pikir rara itu anak siapa?, dia anak aku sita, aku yang mengandung dan melahirkannya, lagi pula, aku rasa sudah cukup aku membiarkan kamu bersama rara selama sepuluh tahun ini, apa kamu belum merasa puas?”
”justru itu kenapa mba mengirimkan rara untuk menemani hidupku, padahal aku sudah terbiasa dengan hidup sendiri, sekarang aku sudah terlanjur menyayanginya, aku merasa sudah memilikinya, aku tak mungkin melepasnya begitu saja”
aku benar-benar tidak bisa berfikir waktu itu, aku merasakan rasa sakit yang teramat dalam, aku menyaksikan dua orang yang aku sayangi bertengkar gara-gara aku.
”bunda............................mamah................”
sejenak mamah dan bunda berhenti bertengkar.
”bunda maafkan rara, mamah maafkan rara, gara-gara rara kalian jadi bertengkar seperti ini”
”tidak nak, ini bukan salah kamu, memang tante kamu saja yang tidak tahu diri”
”bunda jangan bicara seperti itu sama mamah sita, sebagai saudara kandung mamah sita, seharusnya bunda lebih peka terhadap perasaa mamah sita”
”dengarkan apa kata rara, lagi pula kamu kan masih punya anak-anak yang lain, mengapa kamu harus mengambil milikku satu-satunya?”
bunda dan mamah kembali lagi bertengkar.
”sekarang kita serahkan keputusannya kepada rara, dia mau memilih ikut aku, atau tetap denganmu di sini”
”baik, itu usulan yang bijak”
mereka berdua kemudian memandangiku.
”rara, sekarang kamu mau memilih bunda atau tante sita?”
”bunda jangan berbicara seperti itu, rara sayang sama kalian, rara tidak mungkin memilih di antara kalian berdua”
aku terdiam cukup lama, ku pandangi mata mereka satu persatu.
”rara, jika kamu ikut mamah, mamah akan jawab pertanyaan kamu itu”
”rara, apa kamu tidak merasa kangen pada ayah dan adik-adikmu?”
aku lantas melangkahkan kaki menuju bunda.
”rara kamu tega, jadi kamu lebih memilih bunda kamu, kamu telah menyakiti hati mamah.”
mendengar kata-kata mamah sita, akupun langsung berbalik dan menghampiri mamah sita.
”jadi kamu lebih memilih tante sitamu itu dari pada bunda, kalau begitu sia-sia saja bunda datang kesini, kamu telah menyakiti hati bunda”
dadaku terasa begitu sesak, mendengar kata-kata itu, kepalaku pusing mungkin karena menahan rasa sakit, dan air mataku tidak henti-hentinya meleleh. Aku kemudian ambruk dan berlutut di tengah-tengah bunda dan mamah.
”sesungguhnya bukan mamah yang merasakan sakit, bukan bunda yang merasakan sakit, tapi yang paling merasakan sakit itu adalah rara, rara begitu menyayangi kalian, rara tak mungkin memilih di antara kalian, rara mohon mengertilah!”
rasa iba terlihat di wajah mereka berdua, merekapun lantas mendekat dan memelukku.
”kamu benar sayang, maafkan kami telah menyakitimu, mamah dan bundamu tidak sepantasnya berperilaku seperti ini”
kata-kata mamah barusan, seperti oase yang menyejukkan hatiku, begitu damainya aku berada dalam pelukan mereka, mereka pun saling meminta maaf, dan mamahpun mengikhlaskan aku untuk pergi bersama bunda.
Jawaban itu masih menjadi sebuah misteri, aku malah harus meninggalkannya sebelum sempat aku memecahkannya , tapi aku yakin bila aku kembali nanti, aku pasti sudah menemukan jawabannya.
....................bersambung...................................